Seorang tokoh seperti Ivan Illich pernah berseru agar masyarakat bebas dari sekolah. Niat deschooling
tersebut berangkat dari anggapan Ivan Illich bahwa sekolah tak ubahnya
pabrik yang mencetak anak didik dalam paket-paket yang sudah pasti.
“…bagi banyak orang, hak belajar sudah digerus menjadi kewajiban
menghadiri sekolah”, kata Illich. Demikian pula halnya dengan
Rabindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah seakan-akan sebuah
penjara. Yang kemudian ia sebut sebagai “siksaan yang tertahankan”.
Tagore dan Ki Hajar sama-sama dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan
dan bangga atas budaya bangsanya sendiri. Tagore pernah mengembalikan
gelar kebangsawanan (Sir) pada raja Inggris sebagai protes atas
keganasan tentara Inggris dalam kasus Amritsar Affair. Tindakan Tagore
itu dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat. Begitu juga halnya
dengan ditanggalkannya gelar kebangsawanan (Raden Mas) oleh Ki Hajar.
Tindakan ini dilatarbelakangi keinginan untuk lebih dekat dengan rakyat
dari segala lapisan. Antara Ki Hajar dengan Tagore juga merupakan sosok
yang sama-sama cinta kemerdekaan dan budaya bangsanya sendiri.
Dipilihnya bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai medan perjuangan
tidak terlepas dari “strategi” untuk melepaskan diri dari belenggu
penjajah. Adapun logika berpikirnya relatif sederhana; apabila rakyat
diberi pendidikan yang memadai maka wawasannya semakin luas, dengan
demikian keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya tentu akan semakin
tinggi.
Di barat, Paulo Freire hadir dengan konsep pendidikan pembebasan. Di
sini, Ki Hajar Dewantara menjadi pahlawan pendidikan nasional karena
pendidikan sistem among yang ia kembangkan di taman siswa. Ungkapannya
sangat terkenal; “tut wuri handayani”, “ing madya mangun karsa”, dan
“ing ngarsa sung tulada”. Istilah inipun tak hanya populer di kalangan
pendidikan, tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan lain.
Siapakah sebenarnya tokoh pelopor pendidikan bangsa ini?
Siapa sih, yang tidak kenal dengan tokoh yang satu ini? Pejuang
gigih, politisi handal, guru besar bangsa, pendiri Taman Siswa, memang
sudah diakui oleh sejarah. Tapi sebagai pribadi yang keras tapi lembut,
ayah yang demokratis, sosoknya yang sederhana, penggemar barang bekas,
belum banyak orang tahu. Bahkan bagaimana tiba-tiba dia dipanggil dengan
nama Ki Hajar Dewantara juga belum banyak yang tahu.
Tokoh peletak dasar pendidikan nasional ini terlahir dengan nama
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, dilahirkan di Yogyakarta pada hari
Kamis, tanggal 2 Mei 1889. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton
Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Dasar ELS (sekolah
dasar Belanda) dan setelah lulus, ia meneruskan ke STOVIA (sekolah
kedokteran Bumi putera) di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai.
Kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
Ia tergolong penulis tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat
tegar dan patriotik serta mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi
pembacanya.
Selain
menjadi seorang wartawan muda R.M. Soewardi juga aktif dalam organisasi
sosial dan politik, ini terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi
Oetama dan mendapat tugas yang cukup menantang di seksi propaganda.
Dalam seksi propaganda ini dia aktif untuk mensosialisasikan dan
menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai
pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Setelah
itu pada tanggal 25 Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij yang
bertujuan mencapai Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan bersama
dengan dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Organisasi ini
berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada pemerintahan kolonial
Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913, yang dikeluarkan oleh
Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di negara
jajahan. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap oleh
penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan
bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial
Belanda !
No comments:
Post a Comment